Hubungan Marga Marbun Lumbanbatu, Meha, Mungkur dan Marga Saraan - Siniang Online

Hot

Post Top Ad

Senin, 28 Januari 2019

Hubungan Marga Marbun Lumbanbatu, Meha, Mungkur dan Marga Saraan

Marga Marbun Lumbanbatu
SINIANG ONLINE -- Marga Marbun Lumbanbatu mempunyai hubungan darah dengan Marga Saraan.

Lumban Batu adalah putra pertama dari Toga Marbun dengan istrinya Boru Pasaribu. Lumban Batu memiliki dua orang anak yang bernama Raja Magamaga dan Tuan Gaja Soleman. Dan dari kedua anaknya tersebut Lumban Batu melanjutkan generasinya. Dari Raja Magamaga, yakni: (1) Patombor Laut (2)Tuan Marsanti. Dan dari anaknya Tuan Gaja Soleman yakni: (1) Ompu Bijil, (2) Ompu Tombak Ladang. Asal marga Lumban Batu pada generasi ke-8 tumbuh marga Saraan dan marga Meha dan pada generasi ke-10 tumbuh pula marga Mahar di Dairi.

Baca: Sejarah Naipospos

Lumban Batu dinyatakan di Distrik Kelasan yang berada di Barus Hulu terdapat marga empat serangkai: Marbun, Sehun, Meha, dan Mungkur. Keempat marga itu semestinya termasuk ke dalam kelompok suku itu dan menurut orang lahir dari Lumban Batu. Marga Saraan adalah turunan Marbun Lumban Batu.

Legenda Situs Batu Kerbo dan Kisah Perdamaian Marga Angkat dan Saraan

Situs ini ada di Desa Bantun Kerbo, Kecamatan Lae Parira.Terletak di tebing barat ruas sungai lae simbelen. Nama batu kerbau ditujukan terhadap obyek berupa pahatan menyerupai kerbau, dimana pahatan tersebut lengkap dengan badan ,kepala, mata, hidung, mulut, dan seperti tanduk. Ukuran batukerbau adalah 172 cm x 142 cm dengan tinggi 97 cm. Menurut sejarah batu kerbo terjadi karena adanya  ketidak jujuran dan saling menghargai antara sesama manusia.

Berawal dari seorang marga Saraan dari lebbuh(kampung) Saraan meminang putri dari pertaki Angkat yang memiliki paras yang sangat cantik tapi memiliki kekurangan yaitu cacat fisik (tidak bisa berjalan).

ilustrasi


Walaupun kondisi putri nantampuk mas marga Angkat cacat namun pernikahan antara putri nantampuk mas dengan Saraan tetap berlangsung dengan syarat marga Saraan tidak boleh membiarkan putri nantampuk mas berjalan kaki  menuju lebbuh (kampung) Saraan, tetapi putri nantampuk mas tersebut harus diangkat sampai kerumah marga Saraan. Selama berminggu-minggu putri nantampuk mas tinggal dirumah Saraan tetapi putri nantampuk mas tidak pernah keluar dari kamar, sehingga pihak marga Saraan curiga terhadap keadaan putri nantampuk mas. Akhirnya pihak keluarga marga Saraan memeriksa keadaan putri nantampuk mas dan keluarga Saraan terkejut melihat putri nantampuk mas, karena ternyata istri yang disayangi Saraan tersebut ternyata tidak bisa berjalan. Walaupun demikian Saraan tetap sayang dan penuh kasih kepada putri nantampuk mas. Berbeda dengan adik ipar dan mertuanya yang semula menyanyangi putri nantampuk mas berubah menjadi benci, karena putri nantampuk mas hanya menjadi beban bagi keluarga Saraan. Berbagai hinaan sering dilontarkan terhadap putri  nantampuk mas, sehingga putri nantampuk mas tidak sanggup lagi untuk bertahan di rumah Saraan dan memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya di lebbuh (kampung) marga angkat.

Dengan ditemani seekor anjing, putri nantampuk mas kembali ke lebbuh (kampung) marga Angkat. Kejadian ini dianggap penghinaan oleh marga Angkat yang mengakibatkan marga angkat mergraha(berperang) melawan marga Saraan, namun setelah marga Saraan mendengarkan berita tersebut marga Saraan takut dan datang untuk minta maaf  kepada marga Angkat, dan sebagai tanda perdamaian (maaf yang diberikan marga Angkat kepada marga Saraan) maka marga Saraan harus membayar 7 (tujuh) ekor kerbau kepada marga Angkat.Tetapi kerbau yang yang diberikan marga Saraan hanya 6 (enam) ekor, dan 1(satu) ekor lagi sebagai utang dari marga Saraan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, namun utang tersebut tidak dibayar oleh marga Saraan. Suatu saat marga Angkat mengadakan pesta besar yang harus menyembelih 7 (tujuh) ekor kerbau, tapi kerbau yang tersedia hanya 6(enam) ekor. Marga angkat menagih hutang 1(satu) ekor kerbau kepada marga Saraan dan marga Saraan menganggap ini suatu penghinaan karena marga Saraan sudah menerima putri nantampuk mas apa adanya. Anggapan marga Saraan walaupun mereka berhutang kepada marga Angkat namun tidak pantas untuk ditagih kembali. Dengan terpaksa marga Saraan menyerahkan 1(satu) kerbau yang diminta marga Angkat, namun dengan susah payah kerbau tersebut ditarik ke lebbuh (kampung) marga Angkat tetapi kerbau tersebut tidak bergerak (melawan). Tiba-tiba alam bergemuruh, petir dan halilintar bersahutan, dan tiba-tiba kerbau yang dibawa marga Saraan berubah menjadi batu dan sayup-sayup terdengar suara aneh, hai cucuku karena pertikaian ini, maka kerbo ini akan kujadikan batu sebagai bukti perdamaian diantara kalian. Di bawah batu ini mengalir air jernih yang tak pernah kering walaupun musim kemarau. Kalau ada keturunan kalian yang sakit, minumkanlah air ini dan bersihkanlah diri dengan air ini supaya ada ketenangan dan kedamaian. Semenjak kejadian itu dinamakanlah batu itu menjadi batu kerbo dan nama desa itu menjadi bantun kerbo. (sumber)

Meha atau Maha dan Mahe Diakui Sebagai Marga Resmi di Tanah Alas

Disebutkan (lih, Akifumi Iwabuchi, 1990:13) suku Alas asli punya empat marga yaitu: Marga Anggas (MeRge Anggas), Marga Pagan (MeRge Pagan), Marga Pereudeustee (MeRge Kepale Dese), dan Marga Keursuas (MeRge KeRuas).

Marga yang ada di Aceh Tenggara itu juga berada dalam dua kelompok yakni “marga asli” dan “marga baru”. Menurut catatan marga asli itu terdiri dari 8 marga, sementara marga baru terdiri 19 marga. Marga baru disebutkan merupakan marga pendatang ke Aceh Aceh Tenggara dan menjadi kekayaan klan di daerah tersebut. terbagi dua

Klan Asli di Tanah Alas.

1. MERGE BANGKO, marga ini mempunyai tali persaudaraan dengan Merge Cibro, Merge Deski, Merge Keling, Merge Kepale Dese, Merge Keruas, dan Merge Pagan. Merge ini dilarang ada ikatan perkawinan. Marga ini dan marga Bangko tidak boleh ada ikatan perkawinan dengan dua puluh lima marga lainnya di tanoh alas selain dengan marga Selian dan marga Mencawan, karena kedua marga ini berasal dari satu klan. Marga Bangko diyakini berasal dari Sumatera bagian tenggah yang datang ke tanah alas dari danau Bangko di daerah Aceh Selatan dan Tanah Dairi. Marga Bangko dilarang memakan daging burung merpati yang berbintik (Burung Tekukur/ Streptopelia chinensis) yang disebut Ndukur dalam bahasa Alas. Marga Bangko mendiami di Desa Gulo di Kecamatan Darul Hasanah (Kecamatan Badar sebelumnya), namun sekarang marga Banggo juga sudah banyak pindah dari desa Gulo di Desa Terutung Pedi atau Muara Lawe bulan di Kecamatan Babussalam.

2. MERGE CIBRO, diyakini marga ini berasal dari daerah Minangkabau, di Daearah Karo juga ada satu marga yang mempunyai nama mirip Tijbero atau Sibro (Joustra 1926:197, Kreemer 1923:302, Singarimbun 1975:74), Di Daearah Pak pak atau Dairi marga yang sama Tijbero, Tjibëro, atau Siboro (ypes 1907:629, 632, 1932:536, 553) di Daerah Toba Sibôrô (ypes 1932:548) dan di Daerah Gayo Tjebers (Snouck Hurgronje 1903:157). Marga ini dilarang memakan daging kerbau putih-merah (Bubalus bubalis) dalam bahasa alas kerbau jagat (Kreemer 1922:506) dan pisang mas (Musa acuminate) dalam bahas alas galoh semas, marga cibro diyakini bisa memakan jenis pisang ini asal bukan yang akan memakan yang menanam pohonnya, marga ini bisa ditemui di desa Tanjung kecamatan Darul Hasanah.

3. MERGE DESKI, marga ini diyakini berasal dari Daerah Deli Sumatera Utara, sebagai bagian dari marga Bangko, yang bermarga ini dilarang memakan daging burung merpati yang berbintik (Burung Tekukur/Streptopelia chinensis) yang disebut ndukuR dalam bahasa Alas, marga ini ditemui di Desa Mbarung di Kecamatan Babussalam, Kute Bantil, Kute Genting di Kecamatan Lawe Bulan dan Desa Pedesi di Kecamatan Bambel,

4. MERGE KELING, marga ini diyakini berasala dari India Selatan, dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia keling merarti Kling atau Tamil dari India Selatan (Echols et al. 1963:175, Vilkinson. 1959:542) ada sub marga juga dengan nama yang sama di Daearah Karo (Singarimbun. 1975:74), di Daerah Karo istilah keeling berarti klinga (Joustra 1907:48, Neumann 1951:144) menurut (Kreemer. 1922:219), marga keling ini berimigrasi dari kerajaan Klinga di Pantai Coroiandel India Selatan Ke Aceh. Marga ini dilarang melihat dan memakan burung merpati dan menanam dan memakan jelatang dalam bahasan Alas waRang Pupus atau waRan puspus (Poikilospermum azureum). Marga ini ditemui di Desa Mamas Kecamatan Darul Hasanah, sekarang juga sudah bisa di temui di Desa Natam Kecamatan Badar,

5. MERGE KEPALE DESE, marga ini diyakini berasal dari Daerah Pagaruyung Sumatera Barat, marga ini juga dilarang memakan daging burung merpati yang berbintik (Burung Tekukur/Streptopelia chinensis) yang disebut ndukuR dalam bahasa Alas, marga ini mendiami desa Terutung Pedi, dan saat ini marga ini juga ada di desa Pulo Nas, Desa Mbatu Mbulan Kecamatan Babussalam, selain itu marga ini juga menyebut mereka bergabung dengan marga Pinim dengan maksud membentuk satu marga yang besar, hal ini dirasakan manfaatnya misalnya, bekerjasama dalam melaksanakan hajatan atau acara adat lainya,

6. MERGE KARUAS, diyakini berasal dari danau Bangko di Daerah Aceh Selatan, jenis tanaman yang dilarang bagi marga ini adalah pohon Johar dalam bahasa Alasnya njuhaR (Cassia simaea), marga ini dapat ditemui di Desa Telaga Mekar Kecamatan Lawe Bulan, tetapi sekarang juga bisa di temui di daerah sendalanen di Kecamatan Bambel,

7. MERGE PAGAN, marga ini juga diyakini berasal dari Danau Bangko di Bagian Selatan Aceh dari jalur daerah toba dan karo, dengan sebutan klan SiNaabela, Sinaanéla atau Sinambela dikalangan Batak Toba dan marga Kembaren dikalangan Batak Karo (Joustra 1926:197. Kreemer 1920:102. 1923:302, Singarimbun 1975:74) Marga pagan dilarang memakan daging kerbau putih-merah (Bubalus bubalis) dalam bahasa alas keRbau jagat, pohon juhaR, tumbuhan putri malu/ Acacia Pennata yang disebut seRit (dalam bahasa alas). Marga ini tersebar diantara desa Kute Lengat Pagan/Kute Melie, Tualang Sembilar, dan Tualang Baru di Kecamatan Bukit Tusam, dan Desa Salim Pinim di Kecamatan Tanoh Alas, namun ada beberapa keluarga marga pagan yang pindah ke Desa-desa lain seperti Kutacane Lama di Kecamatan Babussalam, Rumah Luar di Kecamatan Lawe Alas dan Titi Mas di Kecamatan Tanoh Alas.

8. MERGE SELIAN, marga ini adalah marga yang terbesar dari semua marga di tanah alas, ini terdiri dari banyaknya kelompok etnis yang pindah ke tanah alas, sehingga marga ini memiliki ikatan yang lebih kuat dibandingkan dengan marga-marga yang lain di tanah alas. Marga ini tersebar di desa Gusung Batu, Penampaan, Lawe Pangkat di kecamatan Deleng Pokisen dan Kuta Ujung, Terutung Kute, Kute Rambe, Pulo Piku di Kecamatan Darul Hasanah, Desa Kuta Rih, Prapat di Kecamatan Babussalam, Kute Mbaru, Lawe Sagu, Kandang Mbelang di Kecamatan Lawe Bulan, Pulo Nas, Batu Mbulan, Terutung Pedi, Kute Pasir di Kecamatan Babussalam, Kute Lengat Selian di Kecamatan Bambel, Ngkeran, Rumah Luar, Lawe Kongkir dan Muara Baru di Kecamatan Lawe Alas, dan lain-lain.

Marga Baru di Tanah Alas

Marga baru ditanah Alas ada sembilan belas selain delapan marga asli yang menetap di sana. Dalam hal status sosial, bagaimanapun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara marga asli dan mereka yang termasuk marga baru.

1. MERGE ACIH, Marga ini diyakini berasal dari pesisir Aceh, seperti namanya. Namun, marga nama yang sama ditemukan di antara Batak Dairi: Atjen (ypes 1932:553). Menurut cerita di masyarakat, anggota marga ini datang ke Tanah Alas sebagai spesialis di sunat atau sayatan. Tidak ada makanan yang dilarang atau tanaman untuk marga ini. Para anggota yang tinggal hanya di desa Natam di Kecamatan Badar, namun saat ini beberapa keluarga marga Acih telah bermigrasi ke desa Pulo Nas di Kecamatan Babussalam.

2. MERGE BERUH, Marga ini adalah marga yang ketiga terbesar dari seluruh marga di Tanah Alas. Marga ini diyakini berasal dari Aceh (lihat Akifumi Iwabuchi, 1990:13). Benda yang dilarang untuk marga ini adalah melihat merpati, jelatang, dan lemon bernama limou Munte (Citrus limon). Para anggota marga ini tersebar, di antara desa-desa Jongar, Penyeberang Cingkam di Kecamatan Ketambe, Rambung Tel(e)dak, Tanjung, di Kecamatan Darul Hasanah dan Natam di Kecamatan Badar, Desa Batu Mbulan di Kecamatan  Babussalam, dan desa-desa Biak Muli dan Kute Lang-lang di Kecamatan Bambel,

3. MERGE GALE. Marga ini diyakini berasal dari Desa Gölö di Gayo Lues (lihat Snouck Hurgronje 1903:223), dan tidak memiliki makanan yang dilarang atau tanaman. Ini adalah salah satu marga terkecil, ada hanya enam keluarga Merge Gale pada tahun 1988. Mereka tinggal di desa Gusung Batu di Kecamatan Lawe Bulan dan dusun Lawe pangkat di Kecamatan Deleng Pokisen.

4. MERGE KEKARO. Marga ini diyakini berasal dari Tanah Karo, seperti namanya. Marga Karo-karo antara Batak Karo (Joustra 1926:197,346, Kreemer 1923:302; Singarimbun 1975:74) dapat diidentifikasi dengan marga ini, karena kadang-kadang Orang Alas juga menyebut suku ini marga Karo-karo. Makanan yang dilarang adalah talas/Colocasia esculenta (dalam bahasa alas kosap). Marga ini ditemukan terutama di desa Kute Pasir di Kecamatan Badar, desa Tenembak Lang-lang, desa Tualang di Kecamatan Deleng Pokisen dan Terutung Pelarikan di Kecamatan Lawe Bulan, Batu Mbulan di Kecamatan Babussalam, Desa Kisam dan dusun Kute Benin di Kecamatan Lawe Sumur, dan desa-desa kampung Kubu dan Lawe Kongkir di Kecamatan Lawe Alas,

5. MERGE MAHE, Marga ini diyakini berasal dari Singkil. Sebuah nama marga yang sama ditemukan dalam tanah Dairi: Naha (ypes 1932:536,553), di Tanah Toba: Meha atau Meha (Vergouwen 1933:16; 1964:16; ypes 1932:549) dan di Singkil: Maha (ypes 1907:629). Tanaman yang dilarang adalah jelatang. Para anggota marga ini dulu tinggal di desa Kute Gerat dan Kute mbaru di Tanah Alas, yang keduanya dirambah oleh sungai Alas selama masa kolonial, tapi sekarang mereka tinggal di Desa Kute Gerat dan desa Lawe Dua di Kecamatan Bukit Tusam,

6. MERGE MENALU, Ini adalah salah satu marga terkecil, dan diyakini telah datang dari Singkil atas undangan raja Bambel. Namun, diperkirakan marga ini memiliki hubungkan dengan marga Manaloe atau Manalu antara Batak Toba (Vergouwen 1933:14; 1933:14; ypes 1932:544,549). Marga ini dilarang memakan daging kerbau putih-merah (Bubalus bubalis) dalam bahasa alas keRbau jagat. Pada tahun 1988 hanya ada empat merge Menalu keluarga, yang terdiri dari keluarga orang tua dan orang-orang dari ketiga anak mereka, di desa Kute Batu di Lawe Alas Kabupaten. Menurut tradisi lisan, ayah kakek buyut bermigrasi ke desa ini dari desa Bambel.

7. MERGE MENCAWAN, Marga ini kadang-kadang diucapkan menggabungkan Bencawan juga, dan diyakini memiliki asal yang sama dengan merge Selian (lih. Singarimbun 1975:73). Sebuah marga nama yang sama ditemukan dalam Tanah Karo: Pincawan (Singarimbun 1975:74). Menurut informasi, marga ini mempunyai larangan juga sama seperti yang dari marga penggabungan Selian, yaitu. jelatang. Menurut Kreemer, bagaimanapun, kerbau putih-merah adalah makanan yang dilarang (1922:506). Anggota marga ini ditemukan terutama di dusun Bacang Lade, tetapi juga di desa-desa Kute mbaru dan Kute Bantil, di Kecamatan Lawe Bulan,

8. MERGE MUNTE, Marga ini diyakini berasal dari Tanah Karo. Sebuah marga atau sub marga dengan nama yang sama ditemukan di antara Batak Karo: Moentë atau Munte (Joustra 1926:197,346; Kreemer 1923: 302; Singarimbun 1975:74), Batak Dairi: Moenté (ypes 1932:535, 549), dan Gayo: Moenté (Snouck Hurgronje 1903:158). Biasanya, makanan yang dilarang dan tanaman adalah merpati melihat dan lemon. keluarga marga Munte tinggal di Desa Lawe Hijo mungkin tidak makan atau menyentuh pucuk bambu manis raksasa bernama tubis betung (Dendrocalaius asper). Para anggota marga ini tersebar di antara desa Tanjung Kecamatan Darul Hasanah dan Gusung Batu Kecamatan Deleng Pokisen, Desa Batu Mbulan dan Kute Rih di Kecamatan Babussalam, Desa Lawe Hijo di Kecamatan Bambel, Desa Kute Batu di Kecamatan Lawe Alas, dan lain-lain.

9. MERGE PASE. Merga ini kecil diyakini berasal dari wilayah Pasai di Aceh Utara, seperti namanya. Menurut Joustra, ada sub marga dengan nama yang sama di Tanah Karo, yang telah punah (1926:197,346; Kreemer 1923:302). Tumbuhan yang dilarang untuk marga ini adalah jelatang. Pada tahun 1988, kurang dari dua puluh keluarga marga ini, dan mereka hanya hidup di desa Kute mbaru di Kecamatan Lawe Bulan,

10. MERGE PELIS, marga ini diyakini berasal dari Tanah Karo, dan tidak memiliki makanan yang dilarang atau tanaman. Kepala wilayah marga ini adalah Imem Bale, yang tidak datang dari kalangan Batak Karo tapi datang dari kalangan Melayu (lihat Akifumi Iwabuchi, 1990:13). Para anggota marga ini tersebar di antara desa Lembah Alas di Kecamatan Badar, Desa Tenembak Lang-lang dan Desa Tualang di Kecamatan Deleng Pokisen, Desa Terutung Pelarikan di Kecamatan Lawe Bulan, dan desa Kisam di Kecamatan Lawe Bulan,

11. MERGE PINIM, marga ini memiliki banyak anggota, dan terdiri dari berbagai kelompok etnis yang bermigrasi ke Tanah Alas secara terpisah. Marga ini diyakini berasal dari Tanah Karo, di Karo ada sub marga nama yang sama, yaitu pinei atau Pinem, ditemukan (Joustra 1926:197,346, Kreemer 1923:302, 1975:74 Singarimbun, 1932:535 ypes), sebahagian meyakini marga ini berasal dari wilayah Kluet di Aceh selatan. Sebuah marga dari nama yang sama ditemukan di Tanah Dairi (ypes 1932:553). Benda yang dilarang bervariasi sesuai dengan masing-masing kelompok, marga Pinim yang tinggal di desa Terutung Payung di Kecamatan Bambel adalah kriket semak bernama belalang kabu (Mecopoda eloneata) dan jelatang, dan marga Pinim yang tinggal di desa Muara Baru di Kecamatan Lawe Alas kerbau putih-merah, dan marga Pinim tinggal di dusun Kute Buluh di Kecamatan Lawe Bulan tunas bambu manis, sementara marga Pinim tinggal di desa Batu Mbulan di kecamatan Babussalam yang sama tidak punya makanan dilarang atau tanaman,

12. MERGE RAMIN. Marga ini diyakini berasal dari wilayah Pasai Aceh utara. Sebuah marga dengan nama yang sama ditemukan di daerah Batak Dairi (ypes 1932:553). Makanan dilarang adalah belut shortfin bernama ikan dundung (Anguilla australis) (lih. Kreeier 1923:545). Para anggota marga ini tinggal terutama di desa-desa Jongar di Kecamatan Ketambe, Natam, di Kecamatan Badar dan Rambung Tel(e)dak di Kecamatan Darul Hasanah, dan desa Bambel dan dusun Lawe Kihing di Kecamatan Bambel,

13. MERGE RAMUD, marga ini diyakini berasal dari Singkil. Kerbau putih-merah, belut shortfin, dan merpati tutul adalah benda yang dilarang untuk marga ini. Para anggota marga ini tersebar di antara desa Kute mbaru di Kecamatan Lawe Bulan dan Pulo Nas di Kecamatan Babussalam, Desa Bambel di Kecamatan Bambel dan Alur Buluh di Kecamatan Bukit Tusam, desa Ngkeran di Kecamatan Lawe Alas, dan lain-lain,

14. MERGE SAMBO, Menurut informan, marga ini yang berasal dari Singkil adalah terbaru dari semua marga di Tanah Alas. Pada 1901-2, namun, marga ini sudah ada di desa Batu Mbulan (Snouck Hurgronje 1901-2b: 3). Sebuah marga dengan nama yang sama ditemukan di daerah Batak Dairi (ypes 1932:536,553) serta daerah Singkil (ypes 1907:629). Makanan dilarang adalah merpati belang. Para anggota marga ini tersebar, di utama, di antara desa Pulo Latong dan Kutacane Lama, dan desa Kute Galuh di Kecamatan Babussalam,

15. MERGE SEKEDANG, ini adalah marga yang terbesar kedua dari semua marga di tanah Alas. Jika anggota marga ini dan orang-orang dari marga Selian digabungkan, jumlahnya diperkirakan lebih dari setengah penduduk Alas seluruh. Marga ini diyakini berasal dari desa Gumpang di Gayo Luos atas undangan Raje Cik di Desa Batu Mbulan (lihat Akifumi Iwabuchi, 1990:13). Menurut Kreemer, marga ini memiliki asal yang sama seperti halnya marga Penôsan di Gayo Luo dan marga Ginting di Tanah Karo (1920:102; 1923:302). Makanan dilarang adalah lemon. marga ini ditemukan di desa Kute Rih di Kecamatan Babussalam, Desa Bambel, Desa Lawe Kihing dan Terutung Seprei di Kecamatan Bambel, Terutung Megara, dan Lawe Sumur di Kecamatan Lawe Sumur, dan lain-lain. Juga ada banyak juga marga Sekedang di desa Semadam di kecamatan Semadam dan Desa Bambel Baru di Bambel Kabupaten, yang didirikan oleh penggabungan Sekedang migran terutama dari desa Bambel setelah Perang Dunia Kedua,

16. MERGE SINAGE, marga ini diyakini berasal dari kalangan orang Minangkabau, tetapi marga dengan nama yang sama ditemukan di daerah Batak Toba: Si Naga atau Sinaga (Joustra 1926:204,346, Vergouwen 1933:7, 1964:6; ypes 1932:536-8), yang Batak Simalungun: Sinaga (Joustra 1926:199; Tideman 1922:90-1), dan Batak Dairi: Sinaga (ypes 1932:549). Makanan dilarang adalah kerbau putih-merah (lihat Kreemer 1922:506). Para anggota marga ini tinggal terutama di desa-desa Muara Lawe Bulan, Pulo Nas, di Kecamatan Babussalam, dan Penampaan, dan Desa Kandang Belang di Kecamatan Lawe Bulan dan desa Pulo Sepang di Kecamatan Lawe Alas.

17. MERGE SUGIHEN, marga ini adalah salah satu marga terkecil, dan hal ini hampir punah saat ini. marga ini diyakini telah datang dari Singkil dari Tanah Karo, ada sub marga dengan nama yang sama (Joustra 1926:197; Singarimbun 1975:74). Merpati berbintik adalah makanan dilarang. Awalnya, marga ini hanya ditemukan di desa Batu Mbulan di Kecamatan Babussalam, namun pada tahun 1988 hanya ada lima keluarga marga Sugihen, hidup dalam kandang di Desa Tanah Kerah di Kecamatan Badar, Desa Kute Galuh di Kecamatan Babussalam, dan desa Kisam di Kecamatan Lawe Sumur.

18. MERGE SEPAYUNG, asal dari marga kecil ini diyakini dari Singkil. Sebuah marga dengan nama yang sama ditemukan di daerah Batak Karo: Sinoebajang atau Sinupayung (Joustra 1926:197,346, Kreemer 1923:302; Singarimbun 1975:74) dan Batak Dairi: Sipajoeng (ypes 1932:535). Tanaman putri malu adalah barang dilarang untuk marga ini. Hampir dua puluh menggabungkan keluarga Sepayung hidup dalam suatu desa dari Muara Baru di Kecamatan Lawe Alas, semua yang bermigrasi dari desa Lawe Kongkir selama masa kolonial.

19 MERGE TERIGAN, Beberapa anggota marga ini diyakini berasal dari Tanah Karo. Ada marga dengan nama yang sama di Tanah Karo: Tarigan (Joustra 1926:197,346, Kreemer 1923:302, 1975:74 Singarimbun, 1932:535 ypes). Namun, beberapa anggota marga ini juga diduga berasal dari Tanah Dairi atau Tanah Gayo. Benda yang dilarang adalah kerbau putih-merah (lihat Kreemer 1922:506), belut shortfin, dan jelatang. Marga ini ditemukan terutama di desa-desa Kute Lingga di Kecamatan Bukit Tusam dan Pinding di Kecamatan Bambel dan desa Kute mbaru di Kecamatan Lawe Bulan.

Marga Meka Mungkur se Dunia Ziarah ke Makam Nenek Moyang

Mengingat sejarah leluhur nenek moyang si Meka-Meka mempunyai empat anak. Antara lain, Prbntang, Prburu, Pnjala, dan Pngoltp dimakamkan di Sintabu persis di Dusun Lae Kunduln Desa Tarabintang Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbahas.

Seluruh Warga Meka-Mungkur yang tinggal di perantauan maupun di Lebbuh Tarabintang/Bona Pasogit pada beberapa minggu lalu melakukan ziarah ke makam nenek moyang si Meka-Meka.

Dengan tujuan untuk memugar dan melestarikan peninggalan-peningggalan yang bersejarah secara turun-temurun yang di wariskan nenek moyang itu di Negeri Meka-Mungkur mempunyai (10 Raja Kuta/Sukut Nitalun) yang meliputi 13 Lebbuh/Kampung yaitu, Lebbuh Lae Trras (Laetoras), Lebbuh Tarabintang, Lebbuh Nggetcih, Lebbuh Lae Maga, Lebbuh Rambung, Lebbuh Siantar-Sitanduk, Lebbuh Karontang/Napakubangen, Lebbuh Arse, Lebbuh Simbara, Lebbuh Rumbia, Lebbuh Napacingkam, Lebbuh Lae Kundulen, dan Lebbuh Lae Kapur.

Ketua DPP Lembaga Adat Marga Meka-Mungkur Nasib Mungkur, SH membacakan, bahwa Lembaga Adat Marga Meka-Mungkur di Tingkat Pusat, Cabang dan Lebbuh perlu dikukuhkan/dinobatkan untuk menumbuh kembangkan gaung dan marwah Lembaga di tengah-tengah masyarakat, dihadapan Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan masyarakat tetangga. Kemudian point a perlu ditetapkan melalui surat keputusan dewan pengurus Pusat LAMMM, mengingat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 dan 73 Tahun 2005 tentang Desa dan Kelurahan, Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penataan Lembaga Masyarakat/Lembaga Adat. Disamping itu anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Lembaga Adat Marga Meka Mungkur (LAMMM), memperhatikan, hasil rapat/musyawarah Lembaga Adat Marga Meka Mungkur tanggal 27 Augustus 2011 yang lalu di Lebbuh/Bona Pasogit dihadiri seluruh Raja Kuta, Penasehat/Pengurus dan Anggota serta Simpatisan di Tarabintang.

Selanjutnya, Ketua DPP Nasib Mungkur dalam arahannya menjelaskan, mulai detik ini mari kita bersama-sama untuk merapatkan barisan dan bergandengan tangan sekaligus bersatu seluruh Marga Meka-Mungkur yang ada di dunia ini. Nasib juga menegaskan lembaga ini adalah bersifat independen dan berdiri di atas semua golongan serta tidak bermuatan politis, ia menambahkan supaya seluruh warga meka mungkur boru dan bere dimanapun berada supaya turut berperan aktif dalam melanjutkan cita-cita perjuangan nenek moyang Meka-Mungkur demi terwujudnya kesejahteraan warga dengan memanfaatkan potensi yang ada di Tanah Ulayat Negeri Meka-Mungkur.
“Mulai saat ini mari kita merapatkan barisan dan memupuk rasa kesatuan dan persatuan, kita bersatu bagaikan ikatan sapu lidi,” sebutnya.

Keturunan Pakpak Klasen itu juga menghimbau kepada seluruh Marga Meka-Mungkur baik di Perantauan maupun di Lebbuh/Bona Pasogit untuk memelihara dan melestarikan warisan leluhur nenek moyang marga meka-mungkur baik secara moral dan marwah seperti adat budaya, dan kapasitas sulang silima/Raja kuta maupun tanah leluhur dan segala yang terkandung di dalamnya dan diatasnya.

Ia memesankan kepada seluruh warga meka-mungkur dimanapun berada agar turut serta mensukseskan acara pengukuhan pengurus lembaga pusat, cabang dan lbbuh serta acara ritual/ziarah di pemakaman nenek moyang meka-meka dan anaknya, prburu, prbntang, penjala dan pnggoltp di Sintuba Desa Tarabintang pada tanggal 27 s/d 28 Desember 2011 mendatang, terangnya.

Bidang Kehumasan Kiman Meka dan Lamro Agave Meka menerangkan kepada warga Meka Mungkur ”keberadaan Kumpulan kita ini sudah cukup lama, dan sudah hampir puluhan tahun, mulai dari zaman dahulu hingga sampai sekarang, nyatanya berjalan ditempat dan tidak ada perubahan hingga sampai sekarang. Kiman juga menambahkan, pada bulan Desember 2011 ini kita mengadakan acara Pelantikan/Pengukuhan Pengurus LAMMM, bila telah dikukuhkan di Lebbuh/Bona Pasogit ini kita harus bekerja secara nyata dan jangan sebatas acara pelantikan saja, dengan alasan lembaga kita ini membuat program dengan 3 item yang harus di laksanakan antara lain:

a. Ada pusaka peninggalan nenek moyang kita di Penanggalan Subulusalam/Aceh sampai sekarang masih orang lain yang memegangnya ataupun menyimpannya,

b. Membuat tapal watas tanah ulayat Negri Meka Mungkur, dan

c.Memperjelas Adat-Istiadat di Negri Meka-Mungkur yang mana pada saat ini masih menggunakan Adat (DAITO) Dairi Toba, dengan keterangan “Adat Pakpak dinyatakan tidak, bahkan Adat Toba juga dinyatakan tidak” berarti pada saat ini masih terkategori kurang jelas, tandasnya.

Sementara tujuan dari pada Lembaga Adat Marga Meka Mungkur dimaksud adalah sesuai dengan AD/ART Pasal 6 yakni : a.Membina rasa kekeluargaan dan persatuan serta kesatuan warga meka-mungkur, boru, bere dan ibebere. b.Meningkatkan kesejahteraan warga meka-mungkur boru, bere dan ibebere. c.Melestarikan adat dan budaya daerah untuk melengkapi budaya nasional. d.Mendukung program pemerintah secara partisipatif dengan memberdayakan warga meka-mungkur dan masyarakat setempat dalam kegiatan pembangunan.

Turut Hadir Ketua DPP Lembaga Adat Marga Meka Mungkur Nasib Mungkur, SH, Sekretaris Aliakbar Meka, Penasehat Menes Mungkur, Bidang Kehumasan Masyarakat Kiman Meka beserta sejumlah rombongan marga meka-mungkur dari Kabupaten Dairi Amos Meka, Kabupaten Pakpak Bharat Lawardin Mungkur, Kec. Parlilitan Lamro Agave Meka, Kec. Pakkat Binsar Meka, Parmonangan Butol Mungkur, Kec. Manduamas Saut Mungkur, Kec. Silandorung Masnudin Mungkur, Kepala Desa Mungkur Sumban Mungkur dan Seluruh Raja Kuta/Sulang Silima se-Negri Meka Mungkur beserta undangan lainnya. (sumber)

Perjuangan Dakwah Panglima Koser Maha Usai Tewasnya Sisingamangaraja XII

Walaupun Sisingamangaraja XII sudah tewas ditembak Belanda pada 1907, beberapa panglimanya yang masih hidup dan tidak sedang berada dalam pasukan Sisingamangaraja XII saat disergap meneruskan hidupnya dengan berdakwah Islam.

Informasi Belanda menjelaskan bahwa setahun setelahnya Panglima Koser Maha atau Pemahur Maha seorang Pertaki (orang Dairi) dari Kneppen (sekarang disebut Siempat Nempu) terus melanjutkan dakwah Islam melawan penjajahan Belanda dan Misionarisnya.

Dia pergi ke rumah saudaranya di Batu-batu Singkil yang juga seorang Raja yang Muslim. Intel Belanda melaporkan Panglima Koser kembali ke kampungnya dan berhasil membangun masyarakat Islam di Kenppen, Kuta Dallang, Kuta Tengah, Maha Bunga, Pengkirisen, Kutantuang, Tambahan, Kuta Taduk-Tanduk, Mbinara, Tuntung Batu, Kintara, Bintang dan wilayah lainnya khususnya di Siempat Nempu dan Silima Pungga-pungga.

Dia juga meminta Raja Runding untuk mengirim dai dan muballih dan dikirim Haji Ibrahim. Gerak-berik mereka terus dipantau Belanda dan diberi label "Slimin" atau "Muslimin" yang berkonotasi pemberontak.

Dakwah di Dairi berbuah hasil dan dimulai pembangunan masjid besar-besaran di antaranya Masjid di Kenppen tahun 1914 yang sekarang bernama Masjid Muharram, Masjid Bintang (1918), Masjid Lama (1925) di Sidikalang.

Kaum muslimpun berkembang pesat sejak 1912 dan banyak yang melanjutkan studi ke luar seperti Abdullah Geruh Maha (Pangkoncil) dan Musa Lembeng yang pergi kuliah ke Kedah Malaysia dan kembali mengabdi di Dairi.

Ikut pula beberapa lainnya ke Kedah seperti Mukhtar Manik, Djabbar Sagala, Makleman Pasaribu dan Hasan Bauarea dan semua kembali ke kampung halaman menyebarkan agama. (sumber)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar