Dua Tradisi Mandailing yang Bikin Unik - Siniang Online

Hot

Post Top Ad

Minggu, 06 Juli 2025

Dua Tradisi Mandailing yang Bikin Unik


Di Sumatera Utara, suku Mandailing dikenal sebagai salah satu kelompok etnis besar yang memiliki sistem marga atau klan berbasis patrilineal. Artinya, nama marga diwariskan dari garis keturunan ayah kepada anak laki-laki. Marga-marga terkenal seperti Nasution, Lubis, Harahap, Rangkuti, dan Pulungan sudah dikenal turun-temurun sebagai identitas utama masyarakat Mandailing di wilayah Tapanuli Selatan dan sekitarnya. Sistem ini menjadi fondasi bagi adat, aturan pernikahan, hingga hubungan sosial di kalangan Mandailing di Sumatera Utara.

Namun menariknya, di Sumatera Barat dan Riau, juga terdapat komunitas Mandailing yang memiliki tradisi berbeda. Mereka justru mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, yaitu garis keturunan yang ditarik dari ibu. Nama suku atau marga yang disandang seseorang berasal dari ibu, bukan dari ayah. Sistem ini sejalan dengan adat Minangkabau yang memang menggunakan sistem matrilineal secara menyeluruh di wilayahnya.

Perbedaan sistem garis keturunan ini sering memunculkan rasa heran di kalangan masyarakat awam. Pasalnya, sama-sama mengaku Mandailing, namun cara menentukan marga atau suku berbeda. Saat kedua kelompok ini bertemu dalam acara adat atau pertemuan keluarga besar lintas daerah, tak jarang muncul keheranan dan perdebatan kecil tentang cara pewarisan nama keluarga.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang akar sejarah masyarakat Mandailing. Mana yang lebih dulu, apakah sistem patrilineal di Mandailing Tapanuli, ataukah matrilineal yang diikuti Mandailing di Sumatera Barat dan Riau? Sampai kini, belum ada kesepakatan tunggal di kalangan sejarawan dan antropolog mengenai hal itu. Keduanya memiliki jejak sejarah panjang dan alasan masing-masing mengapa sistem tersebut dipertahankan.

Sejarah lisan menyebutkan bahwa banyak orang Mandailing bermigrasi ke Sumatera Barat dan Riau berabad-abad lalu. Mereka menyebar akibat berbagai faktor, termasuk konflik politik dan perang kolonial di kawasan Tapanuli. Ketika bermukim di tanah Minangkabau, sebagian dari mereka melebur dengan adat lokal. Seiring waktu, mereka ikut menerapkan sistem matrilineal seperti masyarakat Minangkabau yang sudah lebih dahulu menganutnya.

Namun, tak sedikit pula yang berpendapat bahwa bisa jadi sistem matrilineal di kalangan Mandailing Sumatera Barat merupakan warisan lama dari masa awal peradaban Mandailing sebelum terjadinya pemisahan wilayah. Pendapat ini muncul karena di beberapa masyarakat kuno di Nusantara, sistem matrilineal pernah menjadi sistem kekerabatan yang dominan. Oleh sebab itu, sebagian ahli menyarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai asal usul sistem kekerabatan Mandailing ini.

Di Tapanuli, sistem patrilineal dikenal erat dengan filosofi dalihan na tolu yang menjadi dasar hubungan sosial dalam masyarakat Batak, termasuk Mandailing. Dalam sistem ini, kedudukan seorang laki-laki sebagai pewaris marga menjadi sangat penting dalam menjaga nama keluarga dan kesinambungan garis keturunan. Konsep ini tetap hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Berbeda halnya di Sumatera Barat. Di wilayah ini, Mandailing yang hidup dalam lingkungan masyarakat Minangkabau mengikuti sistem matrilineal. Seorang anak laki-laki maupun perempuan akan mengikuti suku ibunya. Mamak atau paman dari pihak ibu memegang peran sentral dalam urusan keluarga, termasuk urusan adat, warisan, dan pernikahan. Marga atau suku ayah tidak diwariskan, kecuali dalam konteks silsilah pribadi.

Kondisi ini membuat hubungan antara dua komunitas Mandailing dari daerah berbeda ini tetap akrab, namun kerap diwarnai keheranan. Mereka menggunakan bahasa yang sama, memiliki adat istiadat serupa, namun sistem pewarisan nama keluarga bertolak belakang. Hal inilah yang membuat setiap pertemuan budaya atau acara adat lintas daerah menjadi momen yang menarik.

Sejumlah acara adat seperti mangupa atau marhata adat di Sumatera Utara tetap dijalankan dengan aturan patrilineal. Sementara di Sumatera Barat, upacara adat Mandailing kerap mengikuti pola Minangkabau, seperti alek nagari dan malam bainai. Di beberapa daerah di Riau, Mandailing juga lebih condong ke sistem matrilineal, karena berbaur dengan komunitas Minangkabau setempat.

Seiring berkembangnya zaman, sebagian generasi muda Mandailing di Sumatera Barat dan Riau mulai kembali mengenali asal-usul marga ayah mereka, meski tetap hidup dalam sistem matrilineal. Di sisi lain, Mandailing di Tapanuli tetap mempertahankan garis keturunan ayah sebagai identitas utama dalam silsilah keluarga.

Kondisi ini menyimpan potensi penelitian antropologi budaya yang menarik. Bagaimana dua komunitas dari akar yang sama bisa berkembang dengan sistem pewarisan berbeda, dan apakah sebenarnya sistem mana yang lebih dulu dianut oleh leluhur Mandailing pada masa lampau. Belum ada catatan tertulis yang pasti mengenai hal ini, sebab sebagian besar sejarah Mandailing bersumber dari tradisi lisan.

Para sejarawan dan budayawan lokal berpendapat, bisa jadi kedua sistem ini pernah hidup berdampingan di masa silam. Lalu, akibat pengaruh lingkungan dan migrasi, satu sistem menjadi lebih dominan di wilayah tertentu. Teori ini perlu didalami melalui riset sejarah dan antropologi yang lebih sistematis, termasuk melalui penelusuran naskah-naskah kuno dan silsilah keluarga tua.

Perdebatan ini menjadi menarik karena Mandailing dikenal sebagai salah satu etnis dengan identitas budaya kuat di Sumatera. Mereka memiliki seni musik khas gondang, tari tradisional tortor, dan adat pernikahan yang masih lestari. Perbedaan sistem garis keturunan tidak menghalangi semangat mereka dalam melestarikan budaya bersama.

Ke depan, wacana tentang dua sistem kekerabatan Mandailing ini perlu terus dikaji agar dapat dipahami secara utuh. Baik yang hidup dalam sistem patrilineal maupun matrilineal, keduanya sama-sama bagian dari sejarah panjang Mandailing yang patut dihargai dan dipelajari.

Masyarakat Mandailing di kedua daerah itu tetap bangga dengan warisan budaya mereka. Meski berbeda sistem pewarisan marga, persaudaraan dan ikatan adat tetap dijaga. Pertemuan-pertemuan budaya lintas daerah pun rutin digelar sebagai bentuk silaturahmi dan pelestarian adat.

Keunikan ini menunjukkan betapa dinamisnya budaya Nusantara. Dari satu akar budaya bisa lahir berbagai bentuk ekspresi adat sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing. Mandailing menjadi salah satu contoh hidup dari kekayaan budaya yang layak untuk terus digali dan dipahami lintas generasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar